Salah satu parameter dalam menentukan sebuah kawasan itu beresiko longsor atau tidak yakni kemiringan lereng. Indonesia secara geomorfologi mempunyai keanekaragaman relief dan topografi sebab kombinasi tenaga endogen dan eksogen yang kompleks
Menurut data Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral selama tahun 2021, rentetan insiden insiden gerakan tanah atau yang dikenali biasa sebagai tanah longsor melanda kawasan Indonesia dan tercatat sekurang-kurangnya1056 kejadian yang menelan korban jiwa sebanyak 340, 1349 rumah rusak dan 5903 jiwa mengungsi.
Dampak ini belum mencangkup kerugian ekonomi penduduk mirip kehilangan harta benda, terputusnya jalur ekonomi. Dengan sebaran insiden gerakan tanah sekitar 60 % di Pulau Jawa.
Gerakan tanah banyak terjadi terutama dikala puncak demam informasi penghujan datang. Ada tiga era kesempatanpuncak hujan tertinggi berdasarkan data BMKG ialah kala peluangtinggi Januari – April, kurun kesempatanrendah Mei – September dan abad tinggi pada Oktober - Desember.
Pola umum kesempatangerakan tanah selaras dengan era biasa curah hujan di Indonesia yang dikeluarkan oleh BMKG dan peta Prakiraan Terjadinya Gerakan Tanah dan Banjir Bandang (Badan Geologi).
Kejadian gerakan tanah juga dipicuh oleh aktifitas insan dan gempa-bumi maupun kombinasi antara ke 3 nya. Tata kota khususnya pembangunan daerah pemukiman yang jelek menjadi salah satu aspek meningkatknya kejadian gerakan tanah.
Kondisi geomorfologi dan geologi ialah parameter-parameter dari pemicu gerakan tanah. Aspek geomorfologi mirip kelerengan berperan aktif dalam mengatur terjadinya gerakan tanah. Semakin besar kelerengan semakin besar gaya penggerak massa tanah atau batuan penyusun lereng.
Namun perlu diperhatikan tidak semua lahan yang miring senantiasa rentan untuk bergerak. Hal ini sangat tergantung kondisi geologinya, seperti jenis struktur dan komposisi tanah atau batuan penyusun lereng (BAPEKOINDA, 2002). Van Zuidam (1988) dalam Rahmawati (2009) mengklasifikasikan kemiringan lereng menjadi 7, yakni :
a. 0º- 2º (0% - 2%) kemiringan lereng datar. b. 2º - 4º (2% - 7%) kemiringan lereng landai. c. 4º - 8º (7% - 15%) kemiringan lereng miring. d. 8º - 16º (15% - 30%) kemiringan lereng agak curam. e. 16º - 35º (30% - 70%) kemiringan lereng curam. f. 35º - 55º (70% - 140%) kemiringan lereng sangat curam. g. >55º (>140%) kemiringan lereng terjal.
Lihat gambar di atas, wilayah dengan nominal 37º memiliki peluanglongsor tinggi sehingga cocok untuk daerah lindung dengan vegetasi keras untuk menahan tanah dan menjaga infiltrasi.
Semakin rendah nilai kemiringan maka potensi gerakan tanah makin rendah sehingga bisa digunakan untuk program pemukiman, industri sampai aktifitas ekonomi lain. Jika kemiringan lereng kian tinggi maka kesempatangerakan tanah juga meningkat. Masyarakat harus waspada bila bertempat tinggal pada daerah tersebut.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral selama tahun 2021, rentetan insiden insiden gerakan tanah atau yang dikenali biasa sebagai tanah longsor melanda kawasan Indonesia dan tercatat sekurang-kurangnya1056 kejadian yang menelan korban jiwa sebanyak 340, 1349 rumah rusak dan 5903 jiwa mengungsi.
Dampak ini belum mencangkup kerugian ekonomi penduduk mirip kehilangan harta benda, terputusnya jalur ekonomi. Dengan sebaran insiden gerakan tanah sekitar 60 % di Pulau Jawa.
Gerakan tanah banyak terjadi terutama dikala puncak demam informasi penghujan datang. Ada tiga era kesempatanpuncak hujan tertinggi berdasarkan data BMKG ialah kala peluangtinggi Januari – April, kurun kesempatanrendah Mei – September dan abad tinggi pada Oktober - Desember.
Pola umum kesempatangerakan tanah selaras dengan era biasa curah hujan di Indonesia yang dikeluarkan oleh BMKG dan peta Prakiraan Terjadinya Gerakan Tanah dan Banjir Bandang (Badan Geologi).
Kejadian gerakan tanah juga dipicuh oleh aktifitas insan dan gempa-bumi maupun kombinasi antara ke 3 nya. Tata kota khususnya pembangunan daerah pemukiman yang jelek menjadi salah satu aspek meningkatknya kejadian gerakan tanah.
Kondisi geomorfologi dan geologi ialah parameter-parameter dari pemicu gerakan tanah. Aspek geomorfologi mirip kelerengan berperan aktif dalam mengatur terjadinya gerakan tanah. Semakin besar kelerengan semakin besar gaya penggerak massa tanah atau batuan penyusun lereng.
Namun perlu diperhatikan tidak semua lahan yang miring senantiasa rentan untuk bergerak. Hal ini sangat tergantung kondisi geologinya, seperti jenis struktur dan komposisi tanah atau batuan penyusun lereng (BAPEKOINDA, 2002). Van Zuidam (1988) dalam Rahmawati (2009) mengklasifikasikan kemiringan lereng menjadi 7, yakni :
a. 0º- 2º (0% - 2%) kemiringan lereng datar. b. 2º - 4º (2% - 7%) kemiringan lereng landai. c. 4º - 8º (7% - 15%) kemiringan lereng miring. d. 8º - 16º (15% - 30%) kemiringan lereng agak curam. e. 16º - 35º (30% - 70%) kemiringan lereng curam. f. 35º - 55º (70% - 140%) kemiringan lereng sangat curam. g. >55º (>140%) kemiringan lereng terjal.
Ilustrasi sudut kemiringan lereng |
Lihat gambar di atas, wilayah dengan nominal 37º memiliki peluanglongsor tinggi sehingga cocok untuk daerah lindung dengan vegetasi keras untuk menahan tanah dan menjaga infiltrasi.
Semakin rendah nilai kemiringan maka potensi gerakan tanah makin rendah sehingga bisa digunakan untuk program pemukiman, industri sampai aktifitas ekonomi lain. Jika kemiringan lereng kian tinggi maka kesempatangerakan tanah juga meningkat. Masyarakat harus waspada bila bertempat tinggal pada daerah tersebut.