Beberapa isu media dikala ini mulai banyak menyiarkan wacana kesempatanpandemi Covid yang akan bermetamorfosis Endemi. Sebenarnya "Apa sih endemi itu?" lalu apa bedanya dengan pandemi dan epidemi?. Ini ada kaitannya dengan geografi regional ya.
Coba lihat gambar di bawah ini untuk menawarkan visualisasi analogi modelnya.
Beda endemi, epidemi dengan pandemi |
Gambar di atas dengan sederhana menunjukkan perbedaan Endemi, Epidemi dan Pandemi. Praktis dikenali dengan terang dari simbol pada peta teresbut kan?.
Maka kewenangan menyatakan pandemi ada pada empunya yakni WHO. Karena pandemi melibatkan antara negara dan benua alias lintas regional. Begitu juga untuk menyatakan berakhirnya pandemi, yaitu kewenangan WHO.
Sedangkan epidemi mampu saja terjadi hanya pada sebuah tempat tertentu saja alia lokal. Misalnya satu negara atau beberapa negara.
Sedangkan endemi, mempunyai arti angka perkara penularan sudah sangat minim tetapi belum mampu dihilangkan hingga nol. Ini sifatnya mampu di sebuah kawasan tertentu saja. Atau mampu juga antar negara bahkan antar benua.
Maka prinsip dasarnya menyatakan terjadinya pandemi dan mencabutnya yakni kewenangan di WHO. Tidak mampu masing-masing negara menyatakan "telah tidak terjadi pandemi" lagi. Makara Lord nya yakni si WHO.
Sebaliknya, masing-masing negara, mampu saja menyatakan dirinya masih dalam kedaruratan kesehatan walau misalnya secara global sudah tidak lagi dinyatakan pandemi. Misalnya alasannya di negara tersebut, kasusnya masih tinggi, maut masih tinggi, cakupan vaksinasi belum sesuai sasaran atau daya dukung kesehatannya masih kerepotan menghadapi lonjakan masalah.
Artinya negara selaku organisme otonom berhak untuk menertibkan level kedaruratan masing-masing. Apa yang kita baca selaku negara ini dan itu sudah tidak mewajibkan protkes misalnya, adalah kondisi di negara itu sendiri. Yang atas penilaiannya sendiri, menyatakan sudah terkendali, sehingga protkes dilonggarkan.
Tapi tidak mampu masing-masing negara mengklaim bahwa pandemi sudah simpulan. Bukan kewenangannya. Penilaiannya mesti global, oleh WHO. Karena pada jadinya mobilitas dan transportasi antar negara berisiko terhadap penyebaran penyakit yang belum betul-betul terkendali.
Begitu juga, negara lain tidak bisa begitu saja mengikuti atau mencontoh keputusan tersebut, selain mendasarkan pada kondisinya masing-masing.
Bagaimana dengan kondisi endemi?
Kondisi endemi itu bukan keadaan ideal yang kita kehendaki. Itu kondisi terpaksa, kompromis, atau jalan tengah alias cincai lah. Terpaksa diterima karena kita belum bisa betul-betul menetralisir masalah sebuah penyakit.
Kondisi endemi itu mempunyai arti masalah masih ada, dibutuhkan serendah mungkin sehingga tidak berisiko bagi kapasitas pelayanan kesehatan, dengan angka akhir hayat juga serendah mungkin mendekati nol.
Tapi kondisi endemi memiliki arti ada dua hal penting. Pertama, tetap saja ada risiko bahwa kondisi endemik itu berubah lagi menjadi epidemi atau bahkan pandemi jikalau tidak dikelola secara hati-hati. Artinya, jangan alasannya adalah sudah merasa masuk fase endemi, kita menjadi seenaknya, tidak lagi patuh pada perjuangan mempertahankan membatasi tertular dan menularkan.
Pola hidup artinya berubah sebab keadaan pandemi sebelumnya, kita mesti berusaha mengikuti sebab jangan sampai ada pandemi berikutnya. Belajar dari pengalaman ialah hal terbaik.
Kedua, kondisi endemi bagaimanapun tetap menjadi beban bagi sistem pelayanan kesehatan. Artinya sumber daya tetap mesti dialokasikan, sehingga meminimalkan daya dukung untuk persoalan kesehatan lainnya.
Kalau begitu, apakah boleh kita "dengan gampang" menyatakan telah masuk fase endemi? Bagaimana dengan Indonesia?. Kalau ini niscaya kewenangan presiden, kementrian kesehatan yang punya data-data akuratnya. Cakupan vaksinasipun harus sekurang-kurangnyasesuai standar yakni sekitar 80%, mirip Inggris dan beberapa negara eropa lain contohnya. Kaprikornus kita masih menanti dulu untuk menjadi new normal.