Sore kemarin saya pergi ke warung kopi depan rumah untuk beli mie goreng lantaran sore itu tiba-datang lapar banget dan lagi males buat sesuatu di dapur. Alhasil ya sudah saya ke depan saja jajan.
Masuk ke warung kopi, aku melihat ada tiga orang anak dewasa sedang nongkrong dengan pegang gadget masing-masing dengan rokok di tangan dan rambut yang pada gondrong.
Mereka asyik ngobrol sambil main game online di gadget masing-masing, khasnya anak milenial dikala ini yang freedom.
Saya pun berkesimpulan pasti ini anak-anak sekolah online lantaran versi rambutnya gondrong. Memang belum akil balig cukup akal saya di sekolah juga pada gondrong alasannya setahun pandemi ini mereka gak ke sekolah jadi bebas gak cukur rambut, toh peraturan sekolah gak ngelarang juga.
Singkat kisah aku pesan mie goreng pake telor ke penjaga warung, lalu saya duduk menunggu pesanan sambil menyimak obrolan tiga anak muda tersebut.
Usut punya usut mereka ngobrolin tentang cobaan atau ulangan sekolah yang versi online dan banyak nyontek-nyonteknya, kan ga ada yang ngawasin juga, hanya malaikat aja yang ngawas. Jadi memang di model online itu ulangan sangat sukar dilihat kejujurannya, kita cuma pasrah aja sebagai guru, yang penting udah ngasih tahu bahwa kejujuran adalah yang utama.
Kemudian dalam obrolan anak muda tersebut berbagai kata "Anjing" keluar, mirip "anjing, loe tahu kagak itu si ia bego banget anjing". Pokoknya mungkin setiap 3 detik keluar kata si "Anjing". Saya perhatikan selama sekitar 4 menitan, bahasa yang diucapkan sangat jauh dari bahasa santun sesuai kaidah kesopanan, tapi memang di golongan anak muda bahasa slank tersebut telah menjadi konsensus dan bila gak gitu maka akan dianggap "asing".
Makara kata "anjing " ini memang mirip lalap, gak lengkap kalau ngomong terlebih sama sobat sebaya gak pakai kata "anjing". Di penduduk Sunda pun bawah umur cukup umur sudah pasti seperti itu. Nah karena aku kini tinggal di Betawi jadi tentu saja anak-anaknya yaitu anak Betawi, kelihatan dari logatnya juga.
Apakah fenomena ini adalah suatu kemunduran?. Dalam aspek sosial mungkin bisa dibilang iya, tapi dalam kamus anak muda, kata "anjing" itu malah menjadi cara untuk lebih mengakrabkan satu sama lain, iya kan?.
Makara gimana ya perasaan mahluk Tuhan yang dinamakan "anjing" di Indonesia, lantaran sering dipakai insan buat bahasa slank?. Gimana jikalau anjing punya perasaan kaya insan?.
Itulah sekelumit catatan harian perihal kehidupan sosial anak muda kita yang memang perlu menjadi perhatian bagi kita kaum pendidik. Mendidik memang susah, tetapi itulah peran guru.
Pendidikan adat kini serasa tidak menjadi prioritas di sekolah, karena semua sekarang diukur oleh angka, prestasi masuk PTN, nilai KSN dan lainnya. Padahal etika itu ada di urutan paling atas sebelum menjemput ilmu.
Gempuran globalisasi, tontonan tidak mendidik di media sosial, TV dan lainnya menjadi salah satu karena utama mengapa sikap belum dewasa sekolah menjadi tidak bermoral, disamping kondisi lingkungan sekitarnya yang mendukung. Oleh sebab itu jangan heran jikalau peradaban negara kita semakin ke belakang dari waktu ke waktu.
Masuk ke warung kopi, aku melihat ada tiga orang anak dewasa sedang nongkrong dengan pegang gadget masing-masing dengan rokok di tangan dan rambut yang pada gondrong.
Mereka asyik ngobrol sambil main game online di gadget masing-masing, khasnya anak milenial dikala ini yang freedom.
Saya pun berkesimpulan pasti ini anak-anak sekolah online lantaran versi rambutnya gondrong. Memang belum akil balig cukup akal saya di sekolah juga pada gondrong alasannya setahun pandemi ini mereka gak ke sekolah jadi bebas gak cukur rambut, toh peraturan sekolah gak ngelarang juga.
Singkat kisah aku pesan mie goreng pake telor ke penjaga warung, lalu saya duduk menunggu pesanan sambil menyimak obrolan tiga anak muda tersebut.
Usut punya usut mereka ngobrolin tentang cobaan atau ulangan sekolah yang versi online dan banyak nyontek-nyonteknya, kan ga ada yang ngawasin juga, hanya malaikat aja yang ngawas. Jadi memang di model online itu ulangan sangat sukar dilihat kejujurannya, kita cuma pasrah aja sebagai guru, yang penting udah ngasih tahu bahwa kejujuran adalah yang utama.
Kemudian dalam obrolan anak muda tersebut berbagai kata "Anjing" keluar, mirip "anjing, loe tahu kagak itu si ia bego banget anjing". Pokoknya mungkin setiap 3 detik keluar kata si "Anjing". Saya perhatikan selama sekitar 4 menitan, bahasa yang diucapkan sangat jauh dari bahasa santun sesuai kaidah kesopanan, tapi memang di golongan anak muda bahasa slank tersebut telah menjadi konsensus dan bila gak gitu maka akan dianggap "asing".
Makara kata "anjing " ini memang mirip lalap, gak lengkap kalau ngomong terlebih sama sobat sebaya gak pakai kata "anjing". Di penduduk Sunda pun bawah umur cukup umur sudah pasti seperti itu. Nah karena aku kini tinggal di Betawi jadi tentu saja anak-anaknya yaitu anak Betawi, kelihatan dari logatnya juga.
Apakah fenomena ini adalah suatu kemunduran?. Dalam aspek sosial mungkin bisa dibilang iya, tapi dalam kamus anak muda, kata "anjing" itu malah menjadi cara untuk lebih mengakrabkan satu sama lain, iya kan?.
Makara gimana ya perasaan mahluk Tuhan yang dinamakan "anjing" di Indonesia, lantaran sering dipakai insan buat bahasa slank?. Gimana jikalau anjing punya perasaan kaya insan?.
Itulah sekelumit catatan harian perihal kehidupan sosial anak muda kita yang memang perlu menjadi perhatian bagi kita kaum pendidik. Mendidik memang susah, tetapi itulah peran guru.
Pendidikan adat kini serasa tidak menjadi prioritas di sekolah, karena semua sekarang diukur oleh angka, prestasi masuk PTN, nilai KSN dan lainnya. Padahal etika itu ada di urutan paling atas sebelum menjemput ilmu.
Gempuran globalisasi, tontonan tidak mendidik di media sosial, TV dan lainnya menjadi salah satu karena utama mengapa sikap belum dewasa sekolah menjadi tidak bermoral, disamping kondisi lingkungan sekitarnya yang mendukung. Oleh sebab itu jangan heran jikalau peradaban negara kita semakin ke belakang dari waktu ke waktu.