Awal tahun ini Indonesia kembali dilanda cobaan berbentukfenomena cuaca ekstrim yang melanda beberapa daerah mulai dari Kalimantan Selatan, Sulawesi dan sekarang Jawa sedang memasuki puncak penghujan.
Banjir besar terjadi dimana-mana dan menjadikan korban jiwa dan material yang besar. Mulai dari banjir besar Kalimantan Selatan, Manado dan kini Jawa sedang mengalaminya.
Angin muson barat yang menjinjing uap air masif dari daratan Asia dan Samudera Hindia membuat curah hujan ekstrim terjadi di pecahan barat Indonesia.
Terakhir sampai ukiran pena ini dibentuk, peristiwa banjir besar sedang melanda Jakarta, Subang dan kawasan pantai utara Jawa.
Hujan pada prinsipnya yakni rezeki dan anugerah dari Allah SWT. Betapa tidak hal ini sudah tercantum dalam Al Quran itu sendiri.
Akan tetapi ketika ini hujan yang levelnya tinggi menciptakan kapasitas permukaan tanah tidak sanggup menampung debit curahan tersebut sehingga risikonya banjir terjadi.
Lantas apakah semua ini salah Tuhan?. Saya rasa bukan seperti itu, tetapi kita bisa membangun cara pandang yang lain tentang rezeki ini.
Beberapa waktu kemudian pemimpin kita ada yang bilang bahwa banjir itu dikarenakan curah hujan yang tinggi atau ekstrim. Memang ada benarnya tetapi salahnya juga lebih banyak sebetulnya.
Kota sekelas Venezia, Paris atau di Jepang saja sering banjir jika hujan ekstrim, apalagi di Indonesia. Sebenarnya banyak sekali jago tata ruang di Indonesia jebolan perguruan penyusunan rencana kota atau jurusan apalah namanya.
Namun hasil dilapangan mirip tak ada artinya, semua cuma sebatas ilmu teori. Saya juga berfikir bahwa banjir di Jakarta saja tidak akan pernah bisa dituntaskan lantaran kesalahannya telah ekstrim dari jaman dulu.
Dataran rendah dengan puluhan anak sungai dibangun kota megapolitan beton berpuluh tahun yang tidak mungkin untuk menyingkir dari banjir. Ini fakta sejarah dan geografis semenjak zaman kerajaan dan kolonialisme.
Saat ini becana di kita cuma menjadi komoditas saling ejek antar elite politik. Ini yang menjadikan negeri kita dikutuk oleh Tuhan karena pemimpinnya tidak amanah.
Hujan yakni fenomena alam sementara banjir yakni peristiwa. Bencana dan fenomena alam bertentangan dari aspek karena.
Fenomena alam ialah sebab turunnya rezeki sementara banjir lantaran kesalahan mahluk alasannya tatanan ekologis yang buruk.
Nah balik lagi ke judul perihal analogi banjir dan konsep rezeki. Seringkali kita mengeluh alasannya menganggap rezeki Tuhan yang diberikan sedikit padahal itu semua ada maknanya.
Anggaplah rezeki Tuhan itu adalah air hujan yang jikalau turun sekadarnya saja maka akan sangat menguntungkan dan memperlihatkan kehidupan. Namun coba jikalau rezeki air tersebut diberikan sekaligus seperti ketika ini, pastinya akan ada banyak kejelekan mirip banjir.
Tuhan lebih tahu apa yang kita perlukan dibandingkan dengan apa yang kita kehendaki. Jadi merespon rezeki yaitu salah satu hal penting bagi manusia.
Sedikit namun menenteng keberkahan, kebahagiaan yakni baik dibandingkan diberikan sekaligus tetapi mampu jadi rezeki tersebut akan menjinjing kita pada keburukan, keserahakan, lupa diri dan lupa akan Tuhan.
Semoga banjir segera berlalu dan manusia mengambil pelajaran dari fenomena alam ini.
Banjir besar terjadi dimana-mana dan menjadikan korban jiwa dan material yang besar. Mulai dari banjir besar Kalimantan Selatan, Manado dan kini Jawa sedang mengalaminya.
Angin muson barat yang menjinjing uap air masif dari daratan Asia dan Samudera Hindia membuat curah hujan ekstrim terjadi di pecahan barat Indonesia.
Terakhir sampai ukiran pena ini dibentuk, peristiwa banjir besar sedang melanda Jakarta, Subang dan kawasan pantai utara Jawa.
Hujan pada prinsipnya yakni rezeki dan anugerah dari Allah SWT. Betapa tidak hal ini sudah tercantum dalam Al Quran itu sendiri.
Akan tetapi ketika ini hujan yang levelnya tinggi menciptakan kapasitas permukaan tanah tidak sanggup menampung debit curahan tersebut sehingga risikonya banjir terjadi.
Lantas apakah semua ini salah Tuhan?. Saya rasa bukan seperti itu, tetapi kita bisa membangun cara pandang yang lain tentang rezeki ini.
Beberapa waktu kemudian pemimpin kita ada yang bilang bahwa banjir itu dikarenakan curah hujan yang tinggi atau ekstrim. Memang ada benarnya tetapi salahnya juga lebih banyak sebetulnya.
Kota sekelas Venezia, Paris atau di Jepang saja sering banjir jika hujan ekstrim, apalagi di Indonesia. Sebenarnya banyak sekali jago tata ruang di Indonesia jebolan perguruan penyusunan rencana kota atau jurusan apalah namanya.
Namun hasil dilapangan mirip tak ada artinya, semua cuma sebatas ilmu teori. Saya juga berfikir bahwa banjir di Jakarta saja tidak akan pernah bisa dituntaskan lantaran kesalahannya telah ekstrim dari jaman dulu.
Dataran rendah dengan puluhan anak sungai dibangun kota megapolitan beton berpuluh tahun yang tidak mungkin untuk menyingkir dari banjir. Ini fakta sejarah dan geografis semenjak zaman kerajaan dan kolonialisme.
Banjir jadi alat politik |
Hujan yakni fenomena alam sementara banjir yakni peristiwa. Bencana dan fenomena alam bertentangan dari aspek karena.
Fenomena alam ialah sebab turunnya rezeki sementara banjir lantaran kesalahan mahluk alasannya tatanan ekologis yang buruk.
Nah balik lagi ke judul perihal analogi banjir dan konsep rezeki. Seringkali kita mengeluh alasannya menganggap rezeki Tuhan yang diberikan sedikit padahal itu semua ada maknanya.
Anggaplah rezeki Tuhan itu adalah air hujan yang jikalau turun sekadarnya saja maka akan sangat menguntungkan dan memperlihatkan kehidupan. Namun coba jikalau rezeki air tersebut diberikan sekaligus seperti ketika ini, pastinya akan ada banyak kejelekan mirip banjir.
Tuhan lebih tahu apa yang kita perlukan dibandingkan dengan apa yang kita kehendaki. Jadi merespon rezeki yaitu salah satu hal penting bagi manusia.
Sedikit namun menenteng keberkahan, kebahagiaan yakni baik dibandingkan diberikan sekaligus tetapi mampu jadi rezeki tersebut akan menjinjing kita pada keburukan, keserahakan, lupa diri dan lupa akan Tuhan.
Semoga banjir segera berlalu dan manusia mengambil pelajaran dari fenomena alam ini.