Saya percaya siapa saja ingin berhasil menjalani hidupnya di dunia ini bukan?. Nah kali ini aku akan bercerita sedikit ihwal seperti apa sih bantu-membantu sukses, rezeki, duit itu?.
Di jaman kini ini segala hal diukur dengan materi atau kebendaan misalnya duit, mobil, rumah, tanah dan aset-aset kebendaan yang lain.
Lantas apakah rezeki itu memang harus seperti itu?. Memang tidak ada yang salah namun tidak sepenuhnya benar. Saat ini makna rezeki seolah berkurang atau sengaja disusutkan oleh kaum materialistis.
Materialistis yakni suatu paham bahwa segala hal diukur oleh kebendaan, kurang lebih seperti ini. Definisi bahan sederhananya adalah segala hal yang bisa dinikmati oleh panca indera (dilihat, diraba, dihirup, didengar, dikecap). Itulah hakikat materi.
Saat ini insan berlomba-kontes melaksanakan pekerjaan pagi hingga malam untuk memperoleh segala hal dalam bentuk benda. Namun insan lupa bahwa ada rezeki lain yang tidak kalah penting, malahan lebih penting dari benda itu sendiri.
Sesuatu yang sering dilupakan manusia yakni kesehatan, kelapangan, kedekatan dan beberapa hal lain. Mengapa pola hidup manusia bisa bergeser saat ini ke arah semakin materialistis?. Sejarahnya memang panjang dan ini ada kaitannya dengan renaisans di Eropa dan sejarah globalisasi itu sendiri semenjak masa Jalur Sutra.
Coba anda sejenak melihat sekeliling kita, pasti ada fenomena seperti ini:
1. Seseorang banyak harta namun saki keras atau keluarga awut-awutan.
2. Seseorang punya aset melimpah namun kena duduk perkara korupsi, dipenjara.
3. Uang seseorang habis untuk bayar pengobatan dan lainnya.
Mengapa semua mampu terjadi?. Karena intinya dunia ini yakni kesenangan yang menipu mirip Allah sebutkan di Al Alquran. Sebuah ironi bukan di periode muda kita nyari harta banyak, ketika umur 50 tahunan ke atas mulai sakit-sakitan dan harta kemudia dijual untuk berobat yang ujung-ujungnya mati juga.
Apa yang kita banggakan sebetulnya?. Kita ketika ini terjebak oleh nominal-nominal angka, jumlah, hedonisme, barang-barang yang dianggap bernilai padahal semua itu ialah titipan dari Tuhan.
Untuk apa duit banyak tetapi sakit-sakitan, utang banyak, diburudebt collector, keluarga berurusan dan yang lain. Inilah simpulan insan memutarbalikan konsep definisi rezeki.
Rezeki itu tidak terkait benda namun kesediaan kita menerima santunan Allah apapun wujudnya, bisa benda bisa juga sebuah keadaan. Hati lapang, kesehatan prima, banyak teman, anak sholeh, rumah bersahabat mesjid, mampu sholat berjamaah, bisa bederma, mampu tersenyum itu semua yakni rezeki.
Apa rahasia orang bau tanah jaman dahulu umurnya panjang-panjang dan tidak pernah sakit keras, pun ketika akan meninggal tidak merepotkan oleh sakit hebat atau biaya di rumah sakit?. Semua karena keikhlasan hidup mereka.
Di jaman dahulu tidak ada banyak keperluan mirip pulsa, hang out dll. Mereka cuma hidup sekadarnya, tidak ada banyak pikiran hanya cukup makan dan membesarkan dan mendidik anak. Itu bagi mereka yakni rezeki.
Sekarang keperluan sudah bermacam-macam dan membelinya pun menggunakan duit yang harus dicari dengan aneka macam cara. Setelah itu materi atau benda tersebut diposting di medsos dan memancing iri orang lain sebab kepemilikan tersebut.
Hasilnya orang lain akan berbuat sama untuk menerima benda tersebut dengan banyak sekali cara. Mohon maaf sampai banyak orang menjual dirinya cuma sebab ingin memperoleh materi, uang, kendaraan beroda empat, rumah dan yang lain. Kita menjadi buta dan tidak hirau mana halal dan haram.
Itulah dunia sahabat sekalian, seperti meminum air bahari yang asin. Semakin kita minum makin haus tiada ujungnya. Dunia yakni kesenangan yang menipu, maka alangkah baiknya biar kit bermuhasabah untuk kembali ke track yang benar.
Dekatilah Allah sedekat mungkin, nicaya rezeki apapun akan tiba menghampiri tanpa tak terduga dan dari jalan yang tak disangka-sangka.
Di jaman kini ini segala hal diukur dengan materi atau kebendaan misalnya duit, mobil, rumah, tanah dan aset-aset kebendaan yang lain.
Lantas apakah rezeki itu memang harus seperti itu?. Memang tidak ada yang salah namun tidak sepenuhnya benar. Saat ini makna rezeki seolah berkurang atau sengaja disusutkan oleh kaum materialistis.
Materialistis yakni suatu paham bahwa segala hal diukur oleh kebendaan, kurang lebih seperti ini. Definisi bahan sederhananya adalah segala hal yang bisa dinikmati oleh panca indera (dilihat, diraba, dihirup, didengar, dikecap). Itulah hakikat materi.
Saat ini insan berlomba-kontes melaksanakan pekerjaan pagi hingga malam untuk memperoleh segala hal dalam bentuk benda. Namun insan lupa bahwa ada rezeki lain yang tidak kalah penting, malahan lebih penting dari benda itu sendiri.
Rezeki bukan materi semata |
Coba anda sejenak melihat sekeliling kita, pasti ada fenomena seperti ini:
1. Seseorang banyak harta namun saki keras atau keluarga awut-awutan.
2. Seseorang punya aset melimpah namun kena duduk perkara korupsi, dipenjara.
3. Uang seseorang habis untuk bayar pengobatan dan lainnya.
Mengapa semua mampu terjadi?. Karena intinya dunia ini yakni kesenangan yang menipu mirip Allah sebutkan di Al Alquran. Sebuah ironi bukan di periode muda kita nyari harta banyak, ketika umur 50 tahunan ke atas mulai sakit-sakitan dan harta kemudia dijual untuk berobat yang ujung-ujungnya mati juga.
Apa yang kita banggakan sebetulnya?. Kita ketika ini terjebak oleh nominal-nominal angka, jumlah, hedonisme, barang-barang yang dianggap bernilai padahal semua itu ialah titipan dari Tuhan.
Untuk apa duit banyak tetapi sakit-sakitan, utang banyak, diburudebt collector, keluarga berurusan dan yang lain. Inilah simpulan insan memutarbalikan konsep definisi rezeki.
Rezeki itu tidak terkait benda namun kesediaan kita menerima santunan Allah apapun wujudnya, bisa benda bisa juga sebuah keadaan. Hati lapang, kesehatan prima, banyak teman, anak sholeh, rumah bersahabat mesjid, mampu sholat berjamaah, bisa bederma, mampu tersenyum itu semua yakni rezeki.
Apa rahasia orang bau tanah jaman dahulu umurnya panjang-panjang dan tidak pernah sakit keras, pun ketika akan meninggal tidak merepotkan oleh sakit hebat atau biaya di rumah sakit?. Semua karena keikhlasan hidup mereka.
Di jaman dahulu tidak ada banyak keperluan mirip pulsa, hang out dll. Mereka cuma hidup sekadarnya, tidak ada banyak pikiran hanya cukup makan dan membesarkan dan mendidik anak. Itu bagi mereka yakni rezeki.
Sekarang keperluan sudah bermacam-macam dan membelinya pun menggunakan duit yang harus dicari dengan aneka macam cara. Setelah itu materi atau benda tersebut diposting di medsos dan memancing iri orang lain sebab kepemilikan tersebut.
Hasilnya orang lain akan berbuat sama untuk menerima benda tersebut dengan banyak sekali cara. Mohon maaf sampai banyak orang menjual dirinya cuma sebab ingin memperoleh materi, uang, kendaraan beroda empat, rumah dan yang lain. Kita menjadi buta dan tidak hirau mana halal dan haram.
Itulah dunia sahabat sekalian, seperti meminum air bahari yang asin. Semakin kita minum makin haus tiada ujungnya. Dunia yakni kesenangan yang menipu, maka alangkah baiknya biar kit bermuhasabah untuk kembali ke track yang benar.
Dekatilah Allah sedekat mungkin, nicaya rezeki apapun akan tiba menghampiri tanpa tak terduga dan dari jalan yang tak disangka-sangka.