Blogger Jateng

Sejarah Pertempuran Puputan Margarana di Bali

Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda tiba kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu di bawah NICA. 

Melihat Indonesia telah memerdekakan diri, Belanda menyusun rancangan gres untuk negara jajahannya. Belanda yang ingin membentuk negara persemakmuran dibekas koloninya. 

Salah satunya Negara Indonesia Timur (NIT) yang mencakup daerah Bali. Dalam rangka pembentukan negara baru ini, pada Mei 1946, Belanda sempat membujuk I Gusti Ngurah Rai untuk bergabung dan menjadi prajurit bagi negara NIT yang hendak dibuat.

Ngurah Rai adalah mantan anggota KNIL yang pada periode pemerintahan Hindia Belanda menjadi perwira di korps Projada. Ngurah Rai adalah perwira yang besar lengan berkuasa bukan alasannya adalah kompetensinya saja namun juga alasannya adalah darah biru yang dimilikinya. 


Alasan itulah yang menciptakan Belanda mencoba memengaruhinya, akan namun bujukan Belanda ini ditolak mentah-mentah oleh Ngurah Rai. 

Bahkan Ngurah Rai melalui suratnya, meminta Belanda untuk meninggalkan Pulau Bali karena menganggu keamanan dan ketentraman Pulau Bali. Ngurah Rai dengan tegas menentukan ikut kepada Republik Indonesia dan keputusan dari pimpinan di Jawa.
I Gusti Ngurah Rai
Dalam menghadapi pasukan Belanda yang sudah mendarat di Bali, maka Ngurah Rai meminta pinjaman pasukan dari Jawa. Agar pasukan Jawa mampu hingga dengan selamat di Bali, maka Ngurah Rai menjajal mempesona minatpasukan Belanda dengan cara bergerak ke arah timur Bali. 

Perjalanan pasukan ke arah Gunung Agung ini beberapa kali menerima upaya penyergapan oleh Belanda, akan tetapi bisa dipatahkan oleh pasukan Ciung Wanara mirip pertempuran di Tanah Arun, pada tanggal 9 Juli 1946 yang dimenangkan oleh pasukan Ciung Wanara pimpinan Ngurah Rai.

Pertempuran yang terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan membuat Inggris menjajal mendamaikan Belanda dan Indonesia. Akhirnya melalui diplomasi, Inggris sukses mendudukan Belanda dan Indonesia dalam perjanjian Linggarjati. 


Perjanjian yang berlangsung di Kuningan, Jawa Barat ini berlangsung dengan alot dan menciptakan keputusan yang mengagetkan bagi sebagian pejuang Indonesia. 

Pada kesepakatanini Belanda mengakui Jawa, Madura, dan Sumatra selaku kawasan kekuasaan Indonesia secara de Facto. Pengakuan ini adalah opsi sulit bagi sebagaian pejuang utamanya mereka yang berjuang di Indonesia timur. 

Perjanjian ini mempunyai arti juga menyerahkan daerah timur Indonesia dalam kekuasaan Belanda kembali.

Kekecewaan ini dinikmati juga oleh penduduk Bali, yang daerahnya tidak menjadi bagian Republik Indonesia pasca kesepakatanLinggarjati. Sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil, Ngurah Rai bermaksud akan mempertahankan kawasan Bali dari Belanda. 


Setelah melaksanakan Long March ke arah timur Pulau Bali, Pasukan Ngurah Rai kembali ke arah barat Pulau Bali. Dalam perjalanan tersebut mereka singgah di desa Marga, di kawasan Tabanan.

Pada 18 November 1946, pasukan Ciung Wanara melakukan penyerangan ke tangsi Polisi NICA di Tabanan. Penyerbuan ini berhasil merampas senjata dan amunisi dari Belanda. 


Penyerbuan ini membuat Belanda murka, ditambah kepala Polisi NICA, yang berjulukan Wagimin ikut membelot dan bergabung dengan pasukan Ciung Wanara. Setelah melaksanakan pelucutan senjata, Ngurah Rai bareng pasukannya kembali ke desa Marga.

Belanda segera melakukan penelusuran terhadap pasukan Ciung Wanara ke desa-desa. Akhirnya, Belanda sukses mendapatkan pasukan Ciung Wanara yang sedang berada di desa Marga, Belanda secepatnya mengepung desa tersebut. Ngurah Rai yang mengenali pergerakan prajurit Belanda ini segera menyebar pasukanya ke ladang jagung. 


Belanda mulai melaksanakan serangan terhadap pasukan Ciung Wanara, sempurna didepan garis pertahanan pasukan tersebut. Dengan gampang pasukan Belanda mampu dipukul mundur dan menewaskan banyak pasukan Belanda. Belanda segera melakukan gerakan mundur sampai ke desa Tunjuk.

Belanda yang kalah dalam serangan pertama, mengerahkan semua kekuatannya di Bali untuk tiba membantunya. Pengepungan ini dihadapi oleh Ngurah Rai dengan melebarkan pertahanannya, biar mampu memukul mundur dengan segera. 


Ribuan pasukan Belanda segera melakukan penyerangan terhadap pasukan Ngurah Rai yang berjumlah 96 orang. Belanda menjajal mendesak pasukan Ngurah Rai dengan segera, bahkan pergerakan pasukan ini masih dibantu oleh pesawat pengebom yang didatangkan pribadi dari Makasar.

Pasukan Ciung Wanara yang telah mulai terdesak ini alhasil mulai meneriakkan “puputan”. Dalam budpekerti Hindu Bali, Puputan merupakan sebuah perang suci yang akan dilaksanakan sampai titik darah pengahabisan. 


Dengan semangat yang berkobar, pasukan Ciung Wanara melawan gempuran prajurit NICA dari darat dan dari udara dengan semangat pantang mengalah. Pasukan NICA hanya mampu mengepung dan menembaki dari garis pertahanannya.

Pada sore hari tidak terdengar lagi perlawanan dari pasukan Ciung Wanara. Seluruh pasukan Ciung Wanara yang berjumlah 96 orang gugur, termasuk juga Ngurah Rai. Akan namun, Belanda kehilangan lebih dari 400 serdadu yang tewas dalam peperangan ini.


Kekalahan pasukan Ciung Wanara yang dipimpin Oleh Ngurah Rai menciptakan lebih mudah perjuangan Belanda dalam membentuk Negara Indonesia Timur. Dengan terbentuknya negara-negara federasi di tempat nusantara menciptakan Belanda kembali memainkan politik “berkelahi dombanya”. 


Akan tetapi, negara Indonesia Timur ini harus bubar sehabis pada tahun 1950, Republik Indonesia kembali bersatu. Untuk menghormati Ngurah Rai dan Pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam puputan Margarana, pemerintah Indonesia membangun sebuah monumen, Taman Pujaan Bangsa.