Blogger Jateng

Belajar Makna Hidup di Kampung Naga Tasikmalaya

Tahun baru 2020 telah bergulir dan saatnya merencanakan banyak sekali seni manajemen, membuka benih-benih kebaikan baru dan meninggalkan segala deru negatif. 

Mengawali hari di tahun 2020 Masehi ini saya hanya ingin sedikit bercerita tentang sedikit ilmu yang aku peroleh dari perjalanan saya dan keluarga ke Kampung Naga.
Libur semester ini mirip umumkami pulang kampung ke Tasikmalaya di Sukaraja untuk mendatangi keluarga. Seperti biasa karena anak geografi gak betah lama diam, maka kami memutuskan untuk pergi ke Kampung Naga untuk menengok salah satu kampung tertua di Jawa Barat.
Kami berangkat dari Sukaraja melalui Jl. Cibalanarik menuju arah Garut memakai motor. Jalanan telah cukup baik cuma sekitar 2 km rusak di daerah Sanghiyang. Perasaan udah bertahun-tahun belum dibenerin juga.
Kampung Naga berlokasi di desa Neglasari kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya persis di perbatasan Tasikmalaya dengan Garut. Perjalanan menggunakan motor menempuh waktu 45 menit, tidak terlampau lama. 

Singkat dongeng setelah sampai di parkiran, kami eksklusif turun ke bawah. Tidak ada parkir dan biaya untuk masuk ke Kampung Naga. 
Pada hari itu situasi masih sepi dan kelihatannya wisata ini telah kurang diminati lagi, tetapi bagi aku masih punya nilai yang ingin aku gali. Saya bertiga bareng istri dan anak perempuan kami menuruni sekitar 444 anak tangga menuju lembah hijau nan asri yang dibelah oleh Sungai Ciwulan.
Sekitar 15 menitan kami sudah sampai di lokasi Kampung Naga. Kondisi pemukiman masih tetap sama mirip semenjak terakhir aku berkunjung kesini. Debit aliran air Ciwulan masih sedikit alasannya masih belum masuk puncak demam info hujan. 
Kami lalu masuk ke dalam dan menyaksikan seorang nenek sedang menumbuk padi diatas lesung. Kami kemudian menghampiri dan mengatakan sedikit. Nenek tersebut telah berumur 78 tahun dan saya lupa tidak tanya namanya.
Blajar makna hidup di Kampung Naga
Beberapa pertanyaan singkat kami sampaikan dan nenek paruh baya tetapi masih sehat dan tangguhini lalu bercerita wacana kehidupannya. Berikut ringkasan ceritanya yang saya translate ke bahasa Indonesia dari bahasa Sunda.
"Nak, nenek sekarang udah usia 78 tahun namun alhamdulillah masih sehat dan bisa kerja. Pekerjaan saya dari dahulu hingga kini gini aja, numbuk padi tidak ada yang lain. Alhamdulillah masih sehat dan tidak pernah sakit keras. Ada beberapa tetangga yang sekarang lumpuh alasannya adalah raganya jarang gerak lagi jadi tubuhnya melemah. Nenek kerja gini aja gak papa asal sehat dan tidak nyusahkan orang lain. Kebayang kan kalau gak bisa jalan nanti nyusahin saudara."
Dari sini aku lalu berfikir wacana kehidupan yang sepertinya sangat sederhana tetapi sarat makna dan menciptakan insan sehat dan bebas penyakit. Nenek ini sering naik turun dari atas ke bawah bawa padi setiap hari. Kebayangkan kan ototnya terus bekerja sehingga layak saja hingga usia nyaris 80 tahun masih sehat seperti tenaga akil balig cukup akal.
Jauh sekali dengan pola hidup hedonis khas orang kota yang pada umumnya duduk depan meja kerja, malas gerak, frustasi dan lainnya. Pantas saja penyakit-penyakit abnormal penguras dompet tumbuh subur. Memang telah saatnya kita kembali ke prinsip hidup sejati manusia yang sesungguhnya sederhana. Istikomah sambil terus berbuat kebaikan dan menanti sang pemilik untuk memanggil kembali.
Ada banyak kearifan lokal Kampung Naga yang mampu dibaca dari jurnal-jurnal ilmiah. Namun aku sudah menemukan satu kearifan setempat secara langsung, sarat makna dan mudah-mudahan bisa menjadi filosofi hidup saya juga.
Agnas Setiawan. . Guru Blogger