Kehidupan manusia semakin kompleks seiring berkembangnya peradaban. Berbagai sikap insan kini sudah banyak yang tidak cocok dengan kaidah hidup seorang manusia.
Perilaku yang tidak cocok tersebut dinamakan perilaku menyimpang. Beberapa hebat sosiologi mengemukakan teori terkait fenomena sikap menyimpang ini.
Bila dilihat dari pelakuanya, perilaku menyimpang tidak cuma dijalankan secara perseorangan, namun tidak jarang dilaksanakan secara berkelompok.
Penyimpangan yang dilaksanakan secara berkelompok disebut dengan subkultur menyimpang. Subkultur ialah sekumpulan norma, nilai, doktrin, kebiasaan, atau pola hidup yang bertentangan dari kultur mayoritas.
Asal mula terjadinya subkultur menyimpang alasannya ada interaksi di antara sekelompok orang yang mendapatkan status atau cap menyimpang. Melalui intensitas interaksi terbentuklah perasaan senasib dalam menghadapi persoalan yang sama.
Para anggota dari subkultu mirip itu mempunyai perasaan saling pengertian dan memiliki jalan pikiran, nilai dan norma serta hukum tingkahlaku yang berbeda dengan kultur lebih banyak didominasi.
Para anggota subkultur menyimpang biasanya juga mengajarkan terhadap anggota baru wacana aneka macam ketrampilan untuk melanggar hukum dan menyingkir dari kejaran aparatus kontrol sosial.
1. Teori Anomie Salah satu teori yang menerangkan sikap menyimpang adalah teori anomie Robert K. Merton (Narwoko dan Suyanto, 2004: 91).
Teori ini beropini bahwa penyimpangan yaitu akibat dari adanya aneka macam ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan balasannya menjadi menyimpang. Merton menggambarkan datangnya keadaan anomie selaku berikut:
a. Masyarakat industri terbaru, mirip Amerika Serikat, lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang tinggi.
b. Apabila hal tersebut diraih maka dianggap telah menjangkau tujuan-tujuan status atau kultural (cultural goals) yang dicita-citakan oleh penduduk . Untuk mencapai itu ternyata mesti lewat terusan atau cara kelembagaan yang sah (institutionalized means), contohnya sekolah dan pekerjaan formal.
c. Namun ternyata akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak mampu dicicipi oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya lapiran bawah.
d. Akibat dari keterbatasan saluran tersebut maka timbul situasi anomie yaitu sebuah situasi di mana tidak ada titik temu antara tujuan-tujuan status/kultural dan cara-cara yang sah yang tersedia untuk mencapainya.
e. Anomie adalah suatu keadaan atau nama dari sebuah situasi di mana kondisi sosial/suasana penduduk lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapainya jumlahnya lebih minim.
2. Teori Labelling Teori labelling menjelaskan penyimpangan utamanya dikala perilaku sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance).
Teori lebih terpesona pada dilema definisi-definisi sosial dan hukuman-hukuman sosial negatif yang dihubungankan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk pada tindakan yang lebih menyimpang.
Teori ini tidak tertarik mengapa individu tertentu terpesona atau terlibat dalam tindakan menyimpang. Teori ini dalam menganalisis pinjaman cap memusatkan pada reaksi orang.
Artinya, ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labeler) pada individu-individu atau langkah-langkah yang berdasarkan evaluasi orang itu yakni negatif (narwoko dan Suyanto, 2004: 94-95).
Teori labelling mendefinisikan penyimpangan sebagai sebuah konsekuensi dari penarapan hukum-hukum dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar.
Melalui definisi ini bisa ditetapkan bahwa menyimpang adalah langkah-langkah yang dilabelkan terhadap seseorang, atau kepada siapa lebel secara khusus sudah ditetapkan.
Dengan demikian dimensi penting dari penyimpangan ialah pada adanya reaksi penduduk , bukan pada kualitas dati langkah-langkah itu sendiri.
Dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau eksekusi dari penonton sosialnya. Akibat dari pelabelan ialah pada langkah-langkah penyimpangan lebih lanjut.
Dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia cenderung mengembangkan rancangan diri yang menyimpang dan berakibat pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.
3. Teori Belajar atau Teori Sosialisasi Teori Belajar atau Teori Sosialisasi berpandangan bahwa penyimpangan sikap yakni hasil dari proses mencar ilmu. Edwin H. Sutherland (dalam Narwoko dan Suyanto, 2004: 92-93) menyampaikan bahwa penyimpangan yakni konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, utamanya dari subkultur atau antara teman-teman sebaya yang menyimpang.
Di tingkat golongan, perilaku menyimpang yaitu sebuah konsekuensi dari terjadinya pertentangan normatif. Artinya, perbedaan hukum sosial di aneka macam kalangan sosial seperti sekolah, lingkungan tetangga, golongan sobat sebaya atau keluarga, bisa membingungkan individu yang masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi ini mampu mengakibatkan ketegangan yang berujung menjadi kontradiksi noramtif pada diri individu.
Saya berikan teladan: jikalau di sekolah seorang anak diajarkan nilai-nilai kejujuran, namun di luar sekolah nilai-nilai kejujuran sudah ditinggalkan, maka perbedaan norma di antara banyak sekali golongan sosial yang dialami anak tersebut bisa saja melunturkan nilai-nilai kejujuran yang diajarkan di sekolahnya.
Perilaku yang tidak cocok tersebut dinamakan perilaku menyimpang. Beberapa hebat sosiologi mengemukakan teori terkait fenomena sikap menyimpang ini.
Bila dilihat dari pelakuanya, perilaku menyimpang tidak cuma dijalankan secara perseorangan, namun tidak jarang dilaksanakan secara berkelompok.
Penyimpangan yang dilaksanakan secara berkelompok disebut dengan subkultur menyimpang. Subkultur ialah sekumpulan norma, nilai, doktrin, kebiasaan, atau pola hidup yang bertentangan dari kultur mayoritas.
Asal mula terjadinya subkultur menyimpang alasannya ada interaksi di antara sekelompok orang yang mendapatkan status atau cap menyimpang. Melalui intensitas interaksi terbentuklah perasaan senasib dalam menghadapi persoalan yang sama.
Para anggota dari subkultu mirip itu mempunyai perasaan saling pengertian dan memiliki jalan pikiran, nilai dan norma serta hukum tingkahlaku yang berbeda dengan kultur lebih banyak didominasi.
Para anggota subkultur menyimpang biasanya juga mengajarkan terhadap anggota baru wacana aneka macam ketrampilan untuk melanggar hukum dan menyingkir dari kejaran aparatus kontrol sosial.
LGBT yakni perilaku menyimpang |
Teori ini beropini bahwa penyimpangan yaitu akibat dari adanya aneka macam ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan balasannya menjadi menyimpang. Merton menggambarkan datangnya keadaan anomie selaku berikut:
a. Masyarakat industri terbaru, mirip Amerika Serikat, lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang tinggi.
b. Apabila hal tersebut diraih maka dianggap telah menjangkau tujuan-tujuan status atau kultural (cultural goals) yang dicita-citakan oleh penduduk . Untuk mencapai itu ternyata mesti lewat terusan atau cara kelembagaan yang sah (institutionalized means), contohnya sekolah dan pekerjaan formal.
c. Namun ternyata akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak mampu dicicipi oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya lapiran bawah.
d. Akibat dari keterbatasan saluran tersebut maka timbul situasi anomie yaitu sebuah situasi di mana tidak ada titik temu antara tujuan-tujuan status/kultural dan cara-cara yang sah yang tersedia untuk mencapainya.
e. Anomie adalah suatu keadaan atau nama dari sebuah situasi di mana kondisi sosial/suasana penduduk lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapainya jumlahnya lebih minim.
2. Teori Labelling Teori labelling menjelaskan penyimpangan utamanya dikala perilaku sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance).
Teori lebih terpesona pada dilema definisi-definisi sosial dan hukuman-hukuman sosial negatif yang dihubungankan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk pada tindakan yang lebih menyimpang.
Teori ini tidak tertarik mengapa individu tertentu terpesona atau terlibat dalam tindakan menyimpang. Teori ini dalam menganalisis pinjaman cap memusatkan pada reaksi orang.
Artinya, ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labeler) pada individu-individu atau langkah-langkah yang berdasarkan evaluasi orang itu yakni negatif (narwoko dan Suyanto, 2004: 94-95).
Teori labelling mendefinisikan penyimpangan sebagai sebuah konsekuensi dari penarapan hukum-hukum dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar.
Melalui definisi ini bisa ditetapkan bahwa menyimpang adalah langkah-langkah yang dilabelkan terhadap seseorang, atau kepada siapa lebel secara khusus sudah ditetapkan.
Dengan demikian dimensi penting dari penyimpangan ialah pada adanya reaksi penduduk , bukan pada kualitas dati langkah-langkah itu sendiri.
Dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau eksekusi dari penonton sosialnya. Akibat dari pelabelan ialah pada langkah-langkah penyimpangan lebih lanjut.
Dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia cenderung mengembangkan rancangan diri yang menyimpang dan berakibat pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.
3. Teori Belajar atau Teori Sosialisasi Teori Belajar atau Teori Sosialisasi berpandangan bahwa penyimpangan sikap yakni hasil dari proses mencar ilmu. Edwin H. Sutherland (dalam Narwoko dan Suyanto, 2004: 92-93) menyampaikan bahwa penyimpangan yakni konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, utamanya dari subkultur atau antara teman-teman sebaya yang menyimpang.
Di tingkat golongan, perilaku menyimpang yaitu sebuah konsekuensi dari terjadinya pertentangan normatif. Artinya, perbedaan hukum sosial di aneka macam kalangan sosial seperti sekolah, lingkungan tetangga, golongan sobat sebaya atau keluarga, bisa membingungkan individu yang masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi ini mampu mengakibatkan ketegangan yang berujung menjadi kontradiksi noramtif pada diri individu.
Saya berikan teladan: jikalau di sekolah seorang anak diajarkan nilai-nilai kejujuran, namun di luar sekolah nilai-nilai kejujuran sudah ditinggalkan, maka perbedaan norma di antara banyak sekali golongan sosial yang dialami anak tersebut bisa saja melunturkan nilai-nilai kejujuran yang diajarkan di sekolahnya.