Beberapa hari ini dunia sepakbola Indonesia kembali menuai sejarah kelam dengan aksi kekerasan dikala laga Persib vs Persija yang menyantap korban jiwa.
Seolah peristiwa ini tidak akan ada habisnya dari tahun ke tahun. Lalu apa bekerjsama yang terjadi pada suporter Indonesia dan mengapa hal ini mampu terjadi?.
Tentunya banyak hebat yang meneliti wacana fenomena fanatisme buta seperti ini.
Sebagai guru tentu fenomena ini bisa dijadikan bahan pelajaran di kelas bersama siswa. Saya akan coba menunjukkan opini singkat berdasarkan pemahamanan saya, mungkin agak ngawur juga namun sebab masih pagi dan otak fresh maka aku buat goresan pena aja. Memang masalah ini akan sangat kompleks sekali.
Coba kita lupakan dulu perihal suporter Persib vs Persija. Jauh sebelum tragedi GLBA terjadi, kejadian anarkis, kekerasan nyaris terjadi setiap hari. Contoh tawuran siswa, gengster motor saling bacok, bahkan tawuran warga di Jakarta yang katanya selalu terjadi tiap bulan.
Artinya kekerasan berbasis massa selain di sepakbola juga terjadi dalam kehidupan di Indonesia. Di bidang politik, perang antar kubu politik di medsos makin memanas dan mampu saja beralih ke bentrok fisik sebuah saat nanti.
Coba kita kembali lagi ke ranah olahraga lagi. Saat ASEAN Games apakah kita ada yang ribut?. Tentu tidak alasannya kita mensuport Indonesia. Saat pertandingan bulutangkis apakah ada yang ribut?.
Saya rasa tidak. Lalu kenapa kalau main bola senantiasa ribut?. Ini adalah psikologi massa. Semakin banyak individu yang punya visi misi sama kalau berkumpul maka beliau akan menjadi sebuah gelombang gengster yang menganggap golongan lain adalah lawan. Ini yang terjadi dalam sepakbola dan tidak mampu dikesampingkan.
Saya menyaksikan hal lain bahwa klub yang senantiasa ribut ialah klub yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di luar itu gak ada tuh yang ribut-ribut. Saya pernah kerja di Banjarmasin 4 tahun, gak pernah tuh ada ribut-ribut saat Barito Putra main. Atau di Persipura, apakah pernah suporternya murka ketika timnya kalah?. Jarang tuh saya dengar.
Lalu apa yang terjadi bekerjsama?. Pangkal dari seluruhnya tidak lain adalah KEMISKINAN, KEMISKINAN AKUT tepatnya. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yaitu kawasan dengan populasi paling besar di Indonesia dan celakanya angka kemiskinannnya juga besar terutama Jawa Barat. Kemiskinan ini sungguh berbahaya sekali alasannya adalah menimbulkan agresi-agresi kriminalitas lain. Dalam hadist pun ditulis bahwa kemiskinan mendekatkan pada kekufuran. Inilah yang terjadi pada penduduk kita. Orang kaya banyak tapi masih banyak yang tidak acuh sesama. Di satu sisi penduduk miskin tidak mendapatkan pendidikan agama, budaya, adat yang kuar juga di tempat maka ya wasalam.
Saya orang Jawa Barat dan tentu sering melihat suporter bola di tempat. Saya menyaksikan mereka didominasi belum akil balig cukup akal cukup umur tanggung yang labil dan sungguh tidak terperinci. Terlihat dari gaya berpakaian, perilaku dan lainnya. Ada anak perempuan juga merokok padahal mereka berusia pelajar, ini yaitu problem sosial suporter bola kita. Mereka seolah menjadi gengster bukan suporter. Inilah pekerjaan rumah kompleks pemerintah dikala ini ialah mengentaskan kemiskinan secara massal.
Di Indonesia suporter bola ber-evolusi jadi gengster yang sudah buta seluruhnya. Yang ada di otaknya ialah anda belahan kami atau bukan?. Kalau bukan kita tumpas. Hal ini merupakan buah dari kemiskinan yang mesti secepatnya dicari solusinya. Kalau tidak maka saya percaya di langgar berikutnya pasti akan ada korban lagi. Lho kok pesimis?. Ya iya pesimis, sebab realitasnya juga demikian.
Walaupun ketua Persib dan Persija telah setuju tenang namun itu kan cuma dua orang saja, orang akil balig cukup akal yang akalnya pasti sudah waras. Nah yang tidak waras ialah anggota-anggotanya yang masih remaja labil, emosi, miskin ekonomi dan miskin ahlak juga. Artinya memang manajemen manusia utamanya di Jawa ini mesti segera diselesaikan. Coba kita lihat, olahraga yang sifatnya bukan tim banyak mirip bulutangkis, panjat tebing, tenis dll bisa nyumbang prestasi pada ketika ASIAN Games atau Olimpiade tetapi olahraga yang sifatnya tim kita tidak bisa berprestasi.
Apakah hal ini menerangkan orang Indonesia susah diajak kerjasam bareng-bareng?. Mungkin iya, bandingkan dengan permainan tim dari negara lain misalnya yang seolah bermain dengan saling pengertian. Tim kita dikala main bola misal masih saja egois, gocek sana sini dan tidak mau mengembangkan. Itulah refleksi mungkin memang sifat masyarakat Indonesia masih sulit diajak koordinasi bersamadan akibatnya sukar meraih tujuan.
Seolah peristiwa ini tidak akan ada habisnya dari tahun ke tahun. Lalu apa bekerjsama yang terjadi pada suporter Indonesia dan mengapa hal ini mampu terjadi?.
Tentunya banyak hebat yang meneliti wacana fenomena fanatisme buta seperti ini.
Sebagai guru tentu fenomena ini bisa dijadikan bahan pelajaran di kelas bersama siswa. Saya akan coba menunjukkan opini singkat berdasarkan pemahamanan saya, mungkin agak ngawur juga namun sebab masih pagi dan otak fresh maka aku buat goresan pena aja. Memang masalah ini akan sangat kompleks sekali.
Coba kita lupakan dulu perihal suporter Persib vs Persija. Jauh sebelum tragedi GLBA terjadi, kejadian anarkis, kekerasan nyaris terjadi setiap hari. Contoh tawuran siswa, gengster motor saling bacok, bahkan tawuran warga di Jakarta yang katanya selalu terjadi tiap bulan.
Artinya kekerasan berbasis massa selain di sepakbola juga terjadi dalam kehidupan di Indonesia. Di bidang politik, perang antar kubu politik di medsos makin memanas dan mampu saja beralih ke bentrok fisik sebuah saat nanti.
Coba kita kembali lagi ke ranah olahraga lagi. Saat ASEAN Games apakah kita ada yang ribut?. Tentu tidak alasannya kita mensuport Indonesia. Saat pertandingan bulutangkis apakah ada yang ribut?.
Saya rasa tidak. Lalu kenapa kalau main bola senantiasa ribut?. Ini adalah psikologi massa. Semakin banyak individu yang punya visi misi sama kalau berkumpul maka beliau akan menjadi sebuah gelombang gengster yang menganggap golongan lain adalah lawan. Ini yang terjadi dalam sepakbola dan tidak mampu dikesampingkan.
Saya menyaksikan hal lain bahwa klub yang senantiasa ribut ialah klub yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di luar itu gak ada tuh yang ribut-ribut. Saya pernah kerja di Banjarmasin 4 tahun, gak pernah tuh ada ribut-ribut saat Barito Putra main. Atau di Persipura, apakah pernah suporternya murka ketika timnya kalah?. Jarang tuh saya dengar.
Fanatisme buta berawal dari kemiskinan akut |
Saya orang Jawa Barat dan tentu sering melihat suporter bola di tempat. Saya menyaksikan mereka didominasi belum akil balig cukup akal cukup umur tanggung yang labil dan sungguh tidak terperinci. Terlihat dari gaya berpakaian, perilaku dan lainnya. Ada anak perempuan juga merokok padahal mereka berusia pelajar, ini yaitu problem sosial suporter bola kita. Mereka seolah menjadi gengster bukan suporter. Inilah pekerjaan rumah kompleks pemerintah dikala ini ialah mengentaskan kemiskinan secara massal.
Di Indonesia suporter bola ber-evolusi jadi gengster yang sudah buta seluruhnya. Yang ada di otaknya ialah anda belahan kami atau bukan?. Kalau bukan kita tumpas. Hal ini merupakan buah dari kemiskinan yang mesti secepatnya dicari solusinya. Kalau tidak maka saya percaya di langgar berikutnya pasti akan ada korban lagi. Lho kok pesimis?. Ya iya pesimis, sebab realitasnya juga demikian.
Walaupun ketua Persib dan Persija telah setuju tenang namun itu kan cuma dua orang saja, orang akil balig cukup akal yang akalnya pasti sudah waras. Nah yang tidak waras ialah anggota-anggotanya yang masih remaja labil, emosi, miskin ekonomi dan miskin ahlak juga. Artinya memang manajemen manusia utamanya di Jawa ini mesti segera diselesaikan. Coba kita lihat, olahraga yang sifatnya bukan tim banyak mirip bulutangkis, panjat tebing, tenis dll bisa nyumbang prestasi pada ketika ASIAN Games atau Olimpiade tetapi olahraga yang sifatnya tim kita tidak bisa berprestasi.
Apakah hal ini menerangkan orang Indonesia susah diajak kerjasam bareng-bareng?. Mungkin iya, bandingkan dengan permainan tim dari negara lain misalnya yang seolah bermain dengan saling pengertian. Tim kita dikala main bola misal masih saja egois, gocek sana sini dan tidak mau mengembangkan. Itulah refleksi mungkin memang sifat masyarakat Indonesia masih sulit diajak koordinasi bersamadan akibatnya sukar meraih tujuan.