Blogger Jateng

3 Ciri Budaya Politik di Indonesia Menurut Affan Gaffar

Politik yakni bagiandari kehidupan manusia tanpa terkecuali. Bicara politik pasti bagi sebagian orang sungguh menjijikan dan condong tidak menghiraukan. 

Namun kau harus tahu bahwa semua kehidupan kita dalam bernegara itu dipengaruhi oleh kebijakan politik guys seperti harga BBM, rumah, materi pangan dan yang lain. 

Makara kita harus aktif berpolitik memilih pemimpin yang terbaik menurut kita. Berbicara perihal budaya politik di Indonesia, Affan Gaffar menyampaikan bahwa budaya politik di Indonesia memiliki 3 ciri secara umum dikuasai selaku berikut:
1. Hierarki yang tegas Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang memberikan adanya pembedaan atau tingkatan atas dan bawah. 

Stratifikasi sosial yang hierarki ini nampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat. Wah, jadi mirip kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra aja ya guys.
Dalam kehidupan politik, imbas stratifikasi sosial jenis ini tampakpula dikala cara penguasa menatap dirinya dan rakyatnya. 

Mereka condong merendahkan rakyatnya alasannya sang penguasa ini sudah baik, pemurah dan pelindung rakyat. Maka rakyat harus patuh, tunduk, setia dan taat pada penguasa negara. 
Politik adalah bagiandari kehidupan manusia tanpa terkecuali 3 Ciri Budaya Politik di Indonesia Menurut Affan Gaffar
Demonstasi adalah kegiatan politik partisipatif
2. Kecenderungan patronage Kecenderungan patronage adalah kecenderungan pembentukan teladan korelasi patronage, baik di golongan penguasa dan penduduk maupun pola korelasi patron-client. Pola kekerabatan ini bersifat individual. 

Antara dua individu, ialah patron dan client, terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. 


Patron mempunyai sumber daya berbentukkekuasaan, kedudukan atau jabatan, pemberian, perhatian dan kasih sayang, bahkan bahan. 
Kemudian, client mempunyai sumber daya berupa pinjaman, tenaga, dan kesetiaan. Menurut Yahya Muhaimin, dalam tata cara bapakisme (relasi bapak-anak), ”bapak” (patron) dipandang selaku acuan dan sumber pemenuhan keperluan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para anak buah dijadikan tulang punggung bapak.
3. Kecenderungan Neo-patrimonialistik  Dikatakan neo-patrimonalistik alasannya adalah negara memiliki atribut atau kelengkapan yang telah terbaru dan rasional, namun juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. 

Negara masih dianggap milik eksklusif atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga. 

Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol eksklusif pimpinan negara. 

Adapun berdasarkan Affan  Gaffar, negara patrimonalistik mempunyai sejumlah karakteristik selaku berikut. 
a. Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan biasa dan kepentingan publik.  b. Rule of law lebih bersifat sekunder jika ketimbang kekuasaan penguasa.  c. Kebijakan acap kali bersifat partikularistik ketimbang bersifat universalistik.  d. Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa terhadap teman-temannya lebih besar