Politik liberal masa kolonial berniat menunjukkan pertolongan pada orang pribumi namun kenyataannya perusahaan swasta cuma mencari keuuntungan yang sebesar-besarnya.
Tersedianya tenaga kerja yang murah memberi keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan itu. Demikian juga dengan sewa tanah dari para petani.
Berkembangnya perusahaan-perusahaan aneh mebawa kaibat bahwa pemiliki tanah terpaksa menyerahkan tanahnya dan menjadi buruh di tanahnya sendiri. Masalah penyewaan tanah dan penggunaan irigasi juga merugikan petani.
Kondisi rakyat di tanah jajahan yang frustasi dan menderita terbeca juga oleh sebagian orang di Belanda. Penderitaan rakyat Hindia Belanda menyemai kritik di kalangan rakyat Belanda sendiri.
Salah satu tokoh yang mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yakni C. Th. van Deventer. Ia menulis suatu artikel dalam majalah De Gids pada tahun 1899 yang berjudul En Eereschuld (Hutang Kehormatan).
Dalam tulisannya beliau mengemukakan bahwa kekosongan kas negara Belanda telah diisi oleh orang Indonesia. Dengan kata lain bahwasanya bangsa Belanda telah berhutang kecerdikan kepada rakyat Indoneisa yang harus dibayar dengan jalan memberi kemakmuran.
Menurut van Deventer hutang budi itu bisa dibayar dengan peningkatan kesejahteraan orang Indonesia lewat edukasi, migrasi dan irigasi.
Program edukasi berencana memberi potensi keapda pribumi untuk sekolah dan menerima wawasan. Melalui pendidikan diinginkan mampu mendorong rakyat untuk berusaha memperbaiki nasibnya.
Sementara emigrasi adalah perjuangan untuk memindahkan masyarakatdari tempat yang padat ke tempat yang jarang penduduknya seperti di luar Jawa yang masih kosong.
Dengan migrasi, orang Jawa mampu membuka lahan gres yang akan memberinya penghasilan yang lebih besar. Pada biasanya orang Indonesia melakukan pekerjaan selaku petani, maka irigasi sangat diharapkan.
Para petani tersebut menggarap sawah, menanam padi, dan palawija untuk kehidupannya. Oleh alasannya itu metode irigasi yang manis harus dibangun.
Pemerintah Belanda menanggapi pemikiran dan anjuran untuk memperbaiki kehidupan rakyat di koloni Hindia Belanda. Pada tahun 1901, Ratu Belanda Wilhemina menyampaikan pidato kenegaraan yang mensahkan kebijakan Politik Etis.
Namun praktik anjuran van Deventer ini disalahgunakan oleh pebisnis gila dan kolonial untuk mengambil keuntungan.
Pendidikan untuk rakyat pribumi justru diselewengkan penguasa kolonial untuk menciptakan tenaga terdidik yang kemudian dipekerjakan di perusahaan ajaib dan pemerintahan selaku tenaga kelas rendah dan dibayar murah.
Oleh karena itu pendidikan yang diberikan cuma terbatas pada kelompok tertentu dengan wawasan terbatas. Sementara irigasi lebih diutamakan untuk perkebunan tebu dibanding sawah rakyat.
Namun bagaimanapun acara edukasi dan politik etis punya faktor nyata sebab sudah melahirkan kaum elite nasional mirip dr. Ciptomangunkusumo, dr. Sutomo, Soekarno, Hatta dan lainnya yang menjadi permulaan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Gambar: disini, disini
Tersedianya tenaga kerja yang murah memberi keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan itu. Demikian juga dengan sewa tanah dari para petani.
Berkembangnya perusahaan-perusahaan aneh mebawa kaibat bahwa pemiliki tanah terpaksa menyerahkan tanahnya dan menjadi buruh di tanahnya sendiri. Masalah penyewaan tanah dan penggunaan irigasi juga merugikan petani.
Kondisi rakyat di tanah jajahan yang frustasi dan menderita terbeca juga oleh sebagian orang di Belanda. Penderitaan rakyat Hindia Belanda menyemai kritik di kalangan rakyat Belanda sendiri.
Salah satu tokoh yang mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yakni C. Th. van Deventer. Ia menulis suatu artikel dalam majalah De Gids pada tahun 1899 yang berjudul En Eereschuld (Hutang Kehormatan).
Dalam tulisannya beliau mengemukakan bahwa kekosongan kas negara Belanda telah diisi oleh orang Indonesia. Dengan kata lain bahwasanya bangsa Belanda telah berhutang kecerdikan kepada rakyat Indoneisa yang harus dibayar dengan jalan memberi kemakmuran.
Menurut van Deventer hutang budi itu bisa dibayar dengan peningkatan kesejahteraan orang Indonesia lewat edukasi, migrasi dan irigasi.
Politik etis menciptakan kaum cendikiawan Indonesia |
Sementara emigrasi adalah perjuangan untuk memindahkan masyarakatdari tempat yang padat ke tempat yang jarang penduduknya seperti di luar Jawa yang masih kosong.
Dengan migrasi, orang Jawa mampu membuka lahan gres yang akan memberinya penghasilan yang lebih besar. Pada biasanya orang Indonesia melakukan pekerjaan selaku petani, maka irigasi sangat diharapkan.
Para petani tersebut menggarap sawah, menanam padi, dan palawija untuk kehidupannya. Oleh alasannya itu metode irigasi yang manis harus dibangun.
Pemerintah Belanda menanggapi pemikiran dan anjuran untuk memperbaiki kehidupan rakyat di koloni Hindia Belanda. Pada tahun 1901, Ratu Belanda Wilhemina menyampaikan pidato kenegaraan yang mensahkan kebijakan Politik Etis.
Namun praktik anjuran van Deventer ini disalahgunakan oleh pebisnis gila dan kolonial untuk mengambil keuntungan.
van Deventer pencetus Politik Etis |
Oleh karena itu pendidikan yang diberikan cuma terbatas pada kelompok tertentu dengan wawasan terbatas. Sementara irigasi lebih diutamakan untuk perkebunan tebu dibanding sawah rakyat.
Namun bagaimanapun acara edukasi dan politik etis punya faktor nyata sebab sudah melahirkan kaum elite nasional mirip dr. Ciptomangunkusumo, dr. Sutomo, Soekarno, Hatta dan lainnya yang menjadi permulaan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Gambar: disini, disini