Blogger Jateng

Kata Pribumi Yang Menjadi Sensitif

Akhir-final ini masyarakat kita utamanya dunia maya sedang panas dengan kata "pribumi" yang diucapkan oleh Anis Baswedan saat pidato pertamanya selaku gubernur Jakarta. Saya baca di salah satu surat kabar bahkan ada ormas yang melaporkan hal tersebut sebab diannggap sudah melukai kebhinekaan. 
Saya disini tidak mendukung salah satu pasangan kandidat gubernur, namun cuma ingin menjajal melihat fenomena sosial ini dalam kacamatan sosial sesungguhnya. Ini saya gunakan pula untuk bahasan pelajaran di sekolah bersama belum dewasa. 

Merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia, kata pribumi bermakna "penghuni asli atau orang yang tinggal di kawasan bersangkutan". Lalu mengapa kata pribumi ini menjadi panas yang dijadikan alat untuk saling menjatuhkan.
Sejak zaman dulu sebelum abad media umum  meningkat , penyebaran keterangan tidak secepat kini. Sekarang ini mungkin saking cepatnya keterangan berubah/bergerak, maka manusia kian cepat mengerti suatu isu/makna (dalam arti grasa-grusu). 
akhir ini masyarakat kita khususnya dunia maya sedang panas dengan kata  Kata Pribumi Yang Menjadi Sensitif
Candi Ratu Boko di Jogjakarta
Dalam konteks sejarah, memang ungkapan pribumi menjadi bagian yang tidak mampu dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Kalau berdasarkan aku pribumi itu orang Indonesia yang turunan kerajaan-kerajaan dahulu yang pernah berdiri di Indonesia, entah itu ada darah eksklusif atau tidak. 

Non pribumi berarti bangsa lain setelah kerajaan-kerajaan yang datang kemudian menetap di Indonesia (jaman dahulu ya). Bangsa lain pun sekarang bisa menjadi WNI dengan syarat-syarat tertentu pastinya. (ini model aku ya, jangan di bully)
Balik lagi ke duduk perkara pribumi yang sekarang tengah hangat, ini menjadi mengambarkan bahwa penduduk Indonesia (beberapa kalangan) memang masih memiliki dendam kesumat yang tidak terima kepada sebuah duduk perkara. 

Tentu perkaranya ya tidak lain yaitu pilkada Jakarta kemarin. Memang Indonesia ini ialah negeri multietnis yang sungguh hening dan tidak ada lagi di dunia. Kedamaian ini sedang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk dipecah belah. Media sosial yang semakin liar tak terkendali menjadi senjata andalan yang sangat mujarab. 
Dari segi daya baca, ingat bahwa daya kritis atau critical thinking masyarakat Indonesia itu masih termasuk rendah. Manusia Indonesia condong cepat mempercayai sesuatu tanpa tahu benar asal usulnya. 

Dikit-dikit ngeshare informasi yang belum pasti benar, padahal dibaca lengkap atau konfirmasi ke orang eksklusif aja engga. Nah, inilah pula yang mengakibatkan informasi-berita tertentu gampang panas padahal sepele. Saya ngutip salah satu gesekan pena lupa lagi namanya, ialah negeri kita seperti pentul korek, digesek dikit nyala. 
Sebagai kaum bakir kita harusnya tidak eksklusif mempercayai sebuah gosip. Informasi itu mesti dibaca, dicek kebenarannya secara ilmiah apalagi dulu. Pola pikir inilah yang telah dikerjakan oleh kurikulum pendidikan di negara maju. 

Kok jadi ke kurikulum?. Ya emang benar, bahwa faktor critical thinking ini menjadi salahs atau keterampilan abad 21 yang harus dikuasai insan. Jika tak memiliki daya kritis maka yang terjadi yaitu krisis. Krisis karena simpel digiring orang, mudah diadu domba dan akibatnya digesek dikit nyala. 
Ya sudahlah, saya hanya bisa nulis ini aja. Terlalu panjang, capek juga nulisnya. Jangan komen negatif ya, ini hanya sedikit coretan di sore hari mumpung gak lagi ada acara ngajar. 

Semoga fenomena pribumi ini cepat akhir dan sekarang tinggal konsentrasi pada tugas membangun  tempat saja, kolaborasi pemerintah, penduduk juga mesti berpartisipasi. Mau bebas banjir tapi masyarakatnya masih buang sampah ke sungai ya piye kepriben?. Jadi membangun kawasan ialah kolaborasi pemimpin dengan rakyat.

 Kebijakan pemimpin yang pro rakyat digabung dengan sikap rakyat yang disiplin yakni kunci pembangunan tempat yang handal. Selamat sore. 

Gambar: disini