Desa ialah cuilan yang tidak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Negara Indonesia bisa lahir dari desa-desa di penjuru pelosok Nusantara. Desa di Jawa pada mulanya dihuni oleh penduduk satu keturunan, mereka punya nenek moyang yang sama yaitu para cikal bakal pendiri pemukiman yang bersangkutan.
Jika suatu desa lalu telah padat, persoalan-problem ekonomi bermunculan beberapa keluarga keluar untuk mendirikan pemukiman gres dengan cara membuka hutan, atau disebut tetruka.
Di Tapanuli, pembukaan desa baru menurut Marbun sebagian disebabkan keinginan golongan baru dalam proses meraih hak dan kewajiban sebagai raja adab atau karena tanah desa tak mencukupi lagi menghidupi penghuninya.
Dapat dibilang bahwa di periode lalu desa selaku kesatuan masyarakat mempunyai 3 hal yang dalam ungkapan Jawa ialah : rangkah (kawasan), darah (satu keturunan), dan warah (adab).
Maka sungguh sempurna bila Bintarto menyebutkan bahwa sampai sekarang tiga bagian kehidupan desa di Jawa adalah tempat, masyarakatdan kehidupan.
Daerah dalam arti tanah-tanah pekarangan dan pertainan beserta penggunaannya tergolong pula aspek lokasi, luas, batas yang kesemuanya itu ialah lingkungan geografis lokal. Ada desa yang berlokasi di pegunungan, dataran rendah, rawa hingga di pinggir pantai.
Kemudian penduduk, ini mencakup jumlah, pertambahan, kepadatan, penyebaran serta mata pencahariannya. Warah ialah pemikiran tentang tata hidup, pergaulan dan ikatan-ikatannya selaku masyarakat desa.
Dengan sendirinya tata kehidupan itu tidak dapat dilepaskan dari teladan perilaku penduduk desa secara keseluruhan. Tata kehidupan sendiri sering diakibatkan oleh penyesuaian dengan lingkungan di sekitarnya. Artinya perilaku insan di dalamnya mengikuti keadaan lingkungan yang ada.
Kesimpulannya, setiap desa pasti punya 'geographical setting' dan 'human effort' masing-masing yang berbeda. Ada desa yang sumber daya melimpah dimana-mana namun semangat membangun, keahlian dan pendidikan masyarakatnya rendah sehingga tidak maju.
Sebaliknya ada desa yang mempunyai sumber daya terbatas tetapi mampu maju pesat lantaran kemampuan penduduknya dalam menanggulangi kendala geografis tersebut.
Sumber: Geografi Desa dan Kota, Daldjoeni. Gambar: fickr
Jika suatu desa lalu telah padat, persoalan-problem ekonomi bermunculan beberapa keluarga keluar untuk mendirikan pemukiman gres dengan cara membuka hutan, atau disebut tetruka.
Di Tapanuli, pembukaan desa baru menurut Marbun sebagian disebabkan keinginan golongan baru dalam proses meraih hak dan kewajiban sebagai raja adab atau karena tanah desa tak mencukupi lagi menghidupi penghuninya.
Dapat dibilang bahwa di periode lalu desa selaku kesatuan masyarakat mempunyai 3 hal yang dalam ungkapan Jawa ialah : rangkah (kawasan), darah (satu keturunan), dan warah (adab).
Maka sungguh sempurna bila Bintarto menyebutkan bahwa sampai sekarang tiga bagian kehidupan desa di Jawa adalah tempat, masyarakatdan kehidupan.
Kampung Naga Tasikmalaya |
Kemudian penduduk, ini mencakup jumlah, pertambahan, kepadatan, penyebaran serta mata pencahariannya. Warah ialah pemikiran tentang tata hidup, pergaulan dan ikatan-ikatannya selaku masyarakat desa.
Dengan sendirinya tata kehidupan itu tidak dapat dilepaskan dari teladan perilaku penduduk desa secara keseluruhan. Tata kehidupan sendiri sering diakibatkan oleh penyesuaian dengan lingkungan di sekitarnya. Artinya perilaku insan di dalamnya mengikuti keadaan lingkungan yang ada.
Kesimpulannya, setiap desa pasti punya 'geographical setting' dan 'human effort' masing-masing yang berbeda. Ada desa yang sumber daya melimpah dimana-mana namun semangat membangun, keahlian dan pendidikan masyarakatnya rendah sehingga tidak maju.
Sebaliknya ada desa yang mempunyai sumber daya terbatas tetapi mampu maju pesat lantaran kemampuan penduduknya dalam menanggulangi kendala geografis tersebut.
Sumber: Geografi Desa dan Kota, Daldjoeni. Gambar: fickr