Perkembangan geografi sudah dimulai semenjak zaman dahulu jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang. Pada periode Herodotus dan Hesodius sebagian orang menganggap bawa pengetahuan wacana bumi masih sangat dipengaruhi oleh mitologi.
Lambat laun imbas mitologi ini semaking menurun seiring berkembangnya pengaruh ilmu alam di kurun ke 6 sebelum Masehi. Dengan begitu corak pengetahuan perihal bumi di masa ini mempunyai dasar ilm alam dan ilmu pasti. Sejak itu penyelidikan tentang bumi dilaukan dengan memakai logika bukan mitos.
Pandangan Thales (640-548 SM) menganggap bahwa bumi ini mempunyai bentuk penggalan silinder yang terapung di atas air dengan separuh bola hampa di atasnya. Pendapat ini sudah hilang seabad kemudian sesudah Parmenides mengemukakan persepsi bahwa bumi ini berupa bundar.
Kemudian Heraclides (320 SM) berpandangan bahwa bumi berputar pada sumbunya dari barat ke timur. Selain itu diketahui pula adanya zonasi iklim meskipun belum dikenali bahwa sumbernya dari kemiringan sumbu rotasi bumi.
Baca juga:
Perambatan panas di permukaan bumi
Sebaran teladan curah hujan di Indonesia
Seabad sebelum Masehi, geografi sungguh dipengaruhi oleh astronomi dan matematika. Pada kala itu selain geografi ada juga logografi. Pelopor logografi adalah Hecataeus, Herodotus dan Strabo. Ahli logografi ini menceritakan ihwal apa yang didengar dan dilihat dari wisatawan di negara lain. Di kala geografi modern ini logografi disamakan dengan volkenkunde.
Baca juga:
Faktor keterdapatan sumber daya alam
Tahap-tahap pembentukkan fosil
Ptolomeus menulis buku berjudul Geographike Unphegesis. Buku itu beredar di pertengahan era ke 2 dan menerangkan bahwa geografi yaitu sebuah penghidangan dengan peta dari sebagian permukaan bumi yang memperlihatkan kenampakan umum di dalamnya. Selanjutnya diterangkan bahwa geografi berlawanan dengan chorografi alasannya ia lebih
membahas kawasan atau region tertentu dan menghidangkan secara mendalam. Chorografi lebih mengutamakan pada kenampakan asli wilayah dan bukan ukurannya. Sementara geografi lebih memprioritaskan hal-hal yang bersifat kuantitatif bukan kualitatif. Baca juga: Daerah riskan gempa bumi di Indonesia
Berbeda dengan Ptolomeus, Strabo dalam bukunya yang berjudul Geographica sebanyak 17 jilid dan diterbitkan seabad sebelum Masehi telah menciptakan sintesa antara geografi, chorografi dan topografi. Menurutnya, dalam studi geografi kita tidak hanya mempelajari perihal bentuk dan dimensi suatu daerah tetapi juga wacana lokasinya.
Selain itu dalam buku tersebut telah nampak adanya korelasi antara lingkungan dengan insan. Itulah kilas persepsi geografi klasik. Geografi dimulai dari observe atau memperhatikan semua hal yang tertangkap dari panca indera tentang lokasi. Baca juga: Konsep trickle down effect
Lambat laun imbas mitologi ini semaking menurun seiring berkembangnya pengaruh ilmu alam di kurun ke 6 sebelum Masehi. Dengan begitu corak pengetahuan perihal bumi di masa ini mempunyai dasar ilm alam dan ilmu pasti. Sejak itu penyelidikan tentang bumi dilaukan dengan memakai logika bukan mitos.
Pandangan Thales (640-548 SM) menganggap bahwa bumi ini mempunyai bentuk penggalan silinder yang terapung di atas air dengan separuh bola hampa di atasnya. Pendapat ini sudah hilang seabad kemudian sesudah Parmenides mengemukakan persepsi bahwa bumi ini berupa bundar.
Kemudian Heraclides (320 SM) berpandangan bahwa bumi berputar pada sumbunya dari barat ke timur. Selain itu diketahui pula adanya zonasi iklim meskipun belum dikenali bahwa sumbernya dari kemiringan sumbu rotasi bumi.
Baca juga:
Perambatan panas di permukaan bumi
Sebaran teladan curah hujan di Indonesia
Herodotus tokoh geografi klasik, pic: theguardian |
Baca juga:
Faktor keterdapatan sumber daya alam
Tahap-tahap pembentukkan fosil
Ptolomeus menulis buku berjudul Geographike Unphegesis. Buku itu beredar di pertengahan era ke 2 dan menerangkan bahwa geografi yaitu sebuah penghidangan dengan peta dari sebagian permukaan bumi yang memperlihatkan kenampakan umum di dalamnya. Selanjutnya diterangkan bahwa geografi berlawanan dengan chorografi alasannya ia lebih
membahas kawasan atau region tertentu dan menghidangkan secara mendalam. Chorografi lebih mengutamakan pada kenampakan asli wilayah dan bukan ukurannya. Sementara geografi lebih memprioritaskan hal-hal yang bersifat kuantitatif bukan kualitatif. Baca juga: Daerah riskan gempa bumi di Indonesia
Berbeda dengan Ptolomeus, Strabo dalam bukunya yang berjudul Geographica sebanyak 17 jilid dan diterbitkan seabad sebelum Masehi telah menciptakan sintesa antara geografi, chorografi dan topografi. Menurutnya, dalam studi geografi kita tidak hanya mempelajari perihal bentuk dan dimensi suatu daerah tetapi juga wacana lokasinya.
Selain itu dalam buku tersebut telah nampak adanya korelasi antara lingkungan dengan insan. Itulah kilas persepsi geografi klasik. Geografi dimulai dari observe atau memperhatikan semua hal yang tertangkap dari panca indera tentang lokasi. Baca juga: Konsep trickle down effect